Minggu, 06 Februari 2011

Api yang Menyala di Tubuh Manarfa


Di dalam darahnya, bukan hanya ada sungai berwarna biru, tetapi juga ada darah Oemar Bakri, Ki Hajar Dewantara, Montessori, berbaur menjadi sebuah lautan yang dahsyat. Di dalam darahnya, kata pendidikan mengalir ke jantungnya dan menjadi pompa dalam kehidupannya yang kini mencapai 85 tahun. 

Entah apa jadinya dunia pendidikan di Sulawesi Selatan dan Tenggara tanpa nama La Ode Manarfa. Dia menjadi legenda hidup dunia pendidikan tinggi di Sulawesi bukan hanya karena separuh umurnya dihabiskan untuk mendirikan dan mengembangkan kemajuan pendidikan-seperti Universitas Hasanuddin-di daerahnya, tetapi juga karena dialah contoh keturunan bangsawan yang memilih hidup bersahaja dan berkeliling Sulawesi untuk tak henti-hentinya mendirikan universitas bagi rakyat Sulawesi, sekaligus menjadi satu-satunya pengajar tertua yang masih bersemangat memberikan kuliah dalam keadaan tubuh yang renta. 

Lahir di Kulisusu, Kota Madya Baubau, Sulawesi Tenggara, 22 Maret 1917, Manarfa adalah putra tertua Sri Sultan Buton ke-38, La Ode Falihi Qaimuddin Khalifatul Khamis. Sang ibu, Wa Ode Azizah, anak dari Lakina Sorawolio yang masih keturunan Raja Buton I. 

Karena itulah, beberapa orang menganggapnya sebagai sultan terakhir Keraton Buton. Setelah meraih gelar sarjana di bidang Indologie (ilmu tentang Indonesia) dari Verenigde Vakultaiten Universiteit Leiden, Belanda, pada 1952, Manarfa Ode menjadi sarjana pertama di wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara.

 Empat tahun kemudian, bersama beberapa rekannya, Manarfa mendirikan Universitas Hasanuddin. Wa Ode Daawia, istri Manarfa, masih ingat bagaimana susahnya perjuangan sang suami ketika itu.
 Indonesia baru saja merdeka. Kehidupan serba terbatas dan hanya pulau Jawalah yang dianggap makmur dan menjadi pusat dari segala kegiatan. Pulau lain seperti Sulawesi tergolong terbelakang.

 Tapi Manarfa tak mudah menyerah. Ia merogoh kocek sendiri demi suatu kegiatan yang kurang populer dan kurang komersial ketika itu. Berapa jumlahnya? Manarfa enggan menjawabnya. "Prinsip saya, jika tangan kanan memberi, tangan kiri tak perlu tahu," katanya. Sumbangan Manarfa bukan cuma dana, tapi juga ide. Dialah yang mengusulkan agar Universitas Hasanuddin, perguruan tinggi terbesar di Sulawesi Selatan itu, menggunakan gambar ayam jantan sebagai lambang. 

Manarfa bercerita, gambar ayam jago itu tercetus dalam sebuah rapat menentukan logo Universitas Hasanuddin. "Saya teringat pada perjuangan Sultan Hasanuddin yang dijuluki 'Ayam Jantan dari Timur' sewaktu mengusir Belanda dari Makassar," kata Manarfa. Menyadari betapa pendidikan kemudian membawa Sulawesi melangkah begitu pesat, Manarfa mendirikan Universitas Sulawesi Tenggara di Kabupaten Buton pada 1960.

          Tapi perguruan tinggi ini terpaksa dipindahkan ke Kendari, seiring dengan terlepasnya Provinsi Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan pada 1964. Tak tanggung-tanggung, semua fasilitas Universitas Sulawesi Tenggara yang dibeli Manarfa dengan uang pribadi juga diangkutnya ke Kendari.

 Setelah pindah, Universitas Sulawesi Tenggara berganti nama menjadi Universitas Haluoleo, dengan status swasta. Status ini baru berubah menjadi universitas negeri pada 1981, juga karena perjuangan Manarfa. Tetapi Manarfa bukanlah sosok yang membutuhkan posisi, jabatan, apalagi uang.

          Meski sebagai pendiri ia memiliki peluang yang luar biasa besar untuk menjadi rektor pertama di Universitas Haluoleo, ia memilih pulang ke Buton dan lagi-lagi menanam bibit baru.Dia mendirikan Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan) bersama La Ode Malim pada 1982. Tak hanya menanam dan menumbuhkan berbagai universitas, Manarfa juga bersemangat mengajar. 

Hingga saat ini Manarfa tercatat sebagai pengajar sekaligus Rektor Unidayan. Dialah satu-satunya dosen tertua di antara 930 dosen di empat perguruan tinggi yang ada di seluruh pelosok Sulawesi Tenggara. Bisa jadi dia dosen tertua di negeri ini. Sekali dalam sepekan, ia mengajar mata kuliah pendidikan akhlak dan budaya. Staminanya sungguh luar biasa. 

Syahdan, pada Agustus silam, reporter TEMPO menyaksikan sendiri bagaimana Manarfa berdiri dan berceramah memberikan kuliah perdana kepada para mahasiswa baru Unidayan selama tiga jam tanpa henti.
 Di dalam tubuh yang digerogoti 85 tahun kehidupan, toh jiwanya berkelojotan setiap kali para mahasiswanya berlomba-lomba mengajukan pertanyaan menyangkut materi perkuliahan yang diberikan. "Orang tua itu seperti tak pernah kehabisan energi," kata salah seorang koleganya kepada TEMPO.
Dengan energi yang luar biasa dan kegiatan pendidikan yang tak berkesudahan sepanjang hidupnya, Manarfa tak kunjung menggunakan lembaga pendidikan sebagai lembaga komersial, meski peluang itu sungguh besar. Tak mengherankan, dia merasa cukup bernaung di sebuah rumah warisan yang sederhana berisi dua set sofa yang mulai tua, televisi 21 inci, tiga buah guci yang sudah agak kusam.

Satu-satunya pemandangan yang mencolok di rumahnya adalah ribuan buku pelbagai tema yang tersusun rapi di rak-rak dan lemari yang menempel di dinding. Inilah yang menunjukkan bahwa dia seorang pendidik, pemikir yang hidup di alam ideal.

 Dia bahkan tak memiliki sebuah mobil pun hingga anaknyalah yang harus meminjamkan kendaraan dan sopir untuk mengantar ayahnya yang sudah renta itu. Dan di dalam kesederhanaannya itu, Manarfa juga masih menolak mengambil gajinya sebagai rektor. 

Menurut La Meta, bendahara Universitas Dayanu, setiap akhir bulan ketika disodori amplop gaji, Manarfa hanya meneken tanda terima lalu menyerahkan seluruh isinya ke kas universitas. "Ia bertekad menolak gaji dari Unidayan sampai perguruan tinggi dan semua karyawannya sejahtera," kata Meta. 

Apa lagi nama yang bisa kita berikan kepadanya selain Pendekar Pendidikan dengan api yang menyala-nyala? Tak mengherankan bila senat Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara, akhirnya mengganjarnya dengan dua penghargaan sekaligus, pada 19 Agustus 2002.

 Menurut Rektor Universitas Haluoleo, Mahmud Hamundu, penghargaan itu diberikan karena Manarfa dianggap sebagai tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Sulawesi Tenggara, dan mengembangkan Universitas Haluoleo. Toh sang pendekar bisa rontok oleh stroke. 

Manarfa kini tengah tergolek lemah di atas ranjang ruang gawat darurat Rumah Sakit Edy Sabara, Kendari, Sulawesi Tenggara. Ketika TEMPO menjenguknya akhir Oktober silam, bersusah payah ia berusaha menyambut. 

Tubuhnya terlihat lemah. Tetapi sepasang matanya memperlihatkan semangat yang tak padam. "Sepanjang masih diberi kemampuan oleh Allah, kalau perlu hingga akhir hayat, saya akan terus mengabdikan diri pada dunia pendidikan," katanya pada pengujung jam berkunjung. Di ujung tubuhnya yang sudah kisut, ia masih memberikan nyala pada negeri ini.

Sumber : 
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/11/11/LK/mbm.20021111.LK82428.id.html

Pesona Bau-Bau, di Benteng Terluas di Dunia

KOMPAS.com - Kota Bau-Bau Sulawesi Tenggara sangat identik dengan keberadaan Benteng Keraton Buton yang dikenal sebagai benteng terluas di dunia. Bahkan, orang Buton pada umumnya percaya, jika Anda belum menginjakkan kaki di pulau ini jika belum berkunjung ke Benteng berusia berabad-abad itu.
Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. 

Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi. Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya yang berada di Denmark. Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai yang terluas di dunia. Luasnya benteng ini, bukan sekadar isapan jempol, di dalam kompleks benteng melingkupi 1 wilayah kelurahan, dengan nama kelurahan Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.

Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.
Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.
Putri itu kemudian dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio. Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambil mengucapkan sumpah jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.

Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton setelah masuknya Islam.

Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan Sakiuddin Darul Alam. Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.

Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.

Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.

Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa (almarhum) semasa hidupnya, putera Sultan Buton ke-38, meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan.

Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.

Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW.

Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri. (Hamzah Palalloi)

Artikel lainnya bisa dilihat di http://wisata.kompasiana.com

Sumber : http://travel.kompas.com/read/2010/03/08/15000818/Pesona.Bau.Bau..di.Benteng.Terluas.di.Dunia

Ibu Negara Beli Kain Tenun Khas Buton

JAKARTA, KOMPAS.com — Ibu Negara Ani Bambang Yudoyono membeli kain tenunan khas Buton, Sulawesi Tenggara, yang dipamerkan pada Pameran Citra Tenun Indonesia di Jakarta.
Ketua Dekranasda Kabupaten Buton Salmatiah Sjafei di Pasarwajo, Jumat, mengatakan, Ibu Ani yang didampingi Ketua Cita Tenun Indonesia Oke Hata Rajasa membeli tenun yang dipamerkan stan Kabupaten Buton dalam pameran itu.

"Tenun yang dibeli Ibu Ani Yudhoyono adalah kain motif Buton yang dikombinasikan dengan tenun ikat Wakatobi," katanya.

Ia menambahkan, Ibu Ani Yudoyono juga menyempatkan diri untuk berkeliling di stan pameran Kabupaten Buton untuk melihat sejumlah kerajinan Buton yang dipamerkan. "Dia sengat kagum dengan keragaman kerajinan khas Buton tersebut," tambahnya.
 
Salmatiah mengatakan, selain tembus di pasaran Indonesia, kain tenun Buton juga telah tembus di pasar internasional.

"Ini merupakan kerja keras dari pihak Dekranasda Kabupaten Buton. Ke depannya kami akan lebih tingkatkan lagi dengan membina masyarakat Buton yang mempunyai kemampuan dalam membuat kerajinan khas daerah," katanya.

Selain itu, dalam pameran tersebut diperagakan juga kain tenun yang berasal dari Sultra. Khusus Pameran Busana Provinsi Sultra, mereka mempersembahkan kain khas Tolaki, Wakatobi, dan Buton. Peragaan itu dilakukan oleh peragawan nasional.

Sumber  : http://oase.kompas.com/read/2010/08/28/16132693/Ibu.Negara.Beli.Kain.Tenun.Khas.Buton

Sabtu, 05 Februari 2011

Airlines to Serve Bali-Baubau Route

BAUBAU, KOMPAS.com - Several airlines have expressed their willingness to open a flight route from Bali to Baubau in Southeast Sulawesi, Baubau Mayor Amirul Tamin said.

"So far, we have opened several routes such as Baubau-Makassar, Baubau-Surabaya and Baubau-Ambon," he said here on Monday.       The mayor said that the Bali-Baubau roue would be opened because  many foreign tourists from Bali to Baubau had to make a transit first at Kendari’s Haluoleo airport before flying to Baubau.  

    "I have consulted with several airline companies such as Lion, Wings and Express Air. They welcomed the plan to open the route to make it easier for the tourists to visit Baubau from Bali," Amirul Tamin said.       He said that the Bali-Baubau flight route would be opened at the end of 2010 at the latest.
 
 sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/08/23/14515448/Airlines.to.Serve.Bali.Baubau.Route

Indahnya Bawah Laut Buton

Semua pasti masih ingat dengan P. Buton. Ya, dulu ketika SD kita pernah diajarkan oleh guru kita bahwa P. Buton di Sulawesi Tenggara ini adalah penghasil aspal yang baik. Setelah sekian lama, akhirnya tgl 16 Desember 2010 kemaren saya dan bapak berkesempatan mengunjungi P. Buton itu untuk menyelam di sana.

Berangkat pagi sekali pukul 5, menggunakan Express Air kami terbang ke Makassar, kemudian dilanjutkan ke kota Bau-Bau, kota terbesar di P. Buton. Kami tiba di sana pk. 10.20 WITA. Dijemput oleh tour guide+dive instructor, kami langsung menuju Hill House Villa, penginapan yang sangat bagus di sana. Dengan rate per malam sekitar Rp 400.000, anda mendapatkan ruangan ber AC, pemandangan kota Bau-Bau dari atas bukit, free WiFi, dan breakfast tentunya.

Pukul tiga sore kami langsung menuju pantai Nirwana untuk melakukan penyelaman pertama. Berjarak hanya sekitar 30 menit, kami tiba di pantai yang bersih dan tenang lautnya. Penyelaman kali ini, kami menuju artificial reef yang ada di situ di kedalam sekitar 20m. Airnya sangat jernih membuat jarak pandang sangat jauh. Walaupun tidak begitu banyak karang, namun jenis ikannya cukup banyak, dari lion fish (foto pertama di atas), scorpion fish, nudibranch, dan lain-lain. Kami kurang beruntung waktu itu, karena biasanya frog fish dan cuttle fish suka mampir ke situ. Foto di bawah ini adalah 2 jenis binatang laut yg kami temui di pantai Nirwana.

Hari pertama kami hanya melakukan satu kali dive saja. Hari kedua, kami menyelam di Pulau Siompu, pulau kecil dekat pulau Buton. Perjalanan hanya sekitar 45 menit saja. Kami menyelam langsung ke dalaman sekitar 30m. Kami bertemu dengan White Tip Shark, Eagle Ray, dan BumpHead fish. Namun karena jarak mereka yang agak jauh, saya tak bisa memotret mereka.

Di tempat ini lebih diutamakan pemandangannya, karena karangnya masih sangat terjaga. Karangnya berwarna-warni. Dengan sedikit bantuan arus, penyelaman kali ini tidak begitu capai. Kami terus melihat karang yang berwarna-warni, ditambah ikan-ikan yang sangat banyak. Ramai seperti sebuah plaza, cuman plaza ikan.hehehe. Setelah selesai, kami naik ke permukaan, dijemput kapal, kemudian mampir ke sebuah pantai kecil yang dikelilingi tebing untuk istirahat dan makan siang.

Kami juga hanya sekali menyelam pada hari itu, karena ingin memutar-mutar kota Bau-Bau. Lalu, hari ketiga kami pergi ke kota Pasarwajo. Jaraknya hanya sekitar 50km, namun sayangnya jalannnya tidak begitu baik, sehingga perlu ditempuh dalam waktu 2 jam menggunakan mobil. Kami melewati hutan lindung di sana yang masih sangat hijau. Sungguh mengesankan. Pasarwajo terletak di sisi timur pulau Buton. Karena berada di teluk, lautnya sangat tenang. Airnya pun sangat jernih. 

Penyelaman pertama di sini kami lakukan di ujung sebuah yanjung, di kedalaman sekitar 25m. Di sini pemandangannya juga sangat bagus. Kami menyelam ditemani berbagai ikan kecil dan juga pemandangan karang yang sangat indah.


Penyelaman kedua kami lakukan di sebuah dermaga kecil. Dahulu dermaga ini dijadikan kapal bersandar yang ingin mengambil aspal. Sampai sekarang pun masih begitu, walaupun tinggal sedikit. Memang menyelam di tempat ini airnya keruh dan dasarnya pun kotor. 

Namun, jangan berpikir bahwa ikan malah pergi. Kami malah menemui banyak jenis ikan yang jarang. Dengan kedalaman hanya 10m maksimum, kami menyelam hingga satu jam lebih. Kami sibuk mencari-cari ikan yang jarang tersebut. Lanjut, penyelaman ketiga di hari itu pun kami lakukan di dermaga juga. Tapi dermaga yang satu ini hanya untuk ikan. Spot ini dinamakan Mandarin Fish spot, karena sangat banyak terdapat mandarin fish. Di tempat lain tidak banyak yang sebanyak dan sebesar di sini. Dan juga karena di kedalaman yang cetek, kami menyelam cukup lama. Dari 6 foto di bawah ini, 2 yang paling bawah adalah mandarin fish tersebut yg sangat cantik.

Hari kedua di pasarwajo kami habiskan dengan 2 kali diving, karena pesawat kami pulang adalah jam 11 siang di kemudian hari. Sudah peraturan kesehatan penyelam bahwa jika ingin terbang menggunakan pesawat, diving terakhir harus 24 jam sebelum. Nah, diving pertama kami menyelam di pantai yang di kedalaman 25m terdapat gua, yang mengeluarkan air tawar dengan deras. Konon, gua tersebut terhubung dengan sebuah gua di bukit di pasarwajo. Yang menarik di sini adalah tembok atau drop-off sedalam 30m tersebut. Banyak karang yang masih utuh dan ikan-ikan puna juga banyak.

Penyelaman kedua kami lakukan di pelabuhan aspal yang kami selami kemaren karena saya masih pensaran dengan ikan-ikan yang ada di situ. Alhasil, saya sempat mendapatkan frog fish, ikan yang suka berjalan dibandingkan berenang. Foto ikan di kiri adalah frog fish tersebut. Sedangkan yang di kanan adalah udang yang sangat kecil, hanya sebesar cabe hijau yang hidup di anemone.

Setelah itu, kami pun pulang ke kota Bau-Bau. Kami beristirahat sesampainya di sana sambil bersiap-siap untuk pulang keesokan harinya. Perjalanan ke Buton sungguh mengesankan. Tidak hanya di dalam laut, di atas laut pun begitu. Insyaallah saya akan menulisnya di artikel yang lain mengenai indahnya buton di darat. 

Karena kami mengambil paket diving dari sebuah dive operator di sana, kami bisa mendapatkan biaya yang cukup murah. Setidaknya tiap orang cukup membayar Rp 4.000.000 untuk mendapatkan 7 kali penyelaman, akomodasi dan transportasi. Tiket penerbangan menggunakan express air lebih murah dari Lion air. Tiket pulang pergi Jakarta- Bau-bau adalah Rp 2.160.000. Namun bagasi per orang hanya 10kg, nah biaya overwight adalah Rp 37.500 per kg. Jadi, tiap orang menghabiskan dana sekitar Rp 6.160.000,-. Itu masih di luar biaya makan siang dan malam.

Semoga catatan perjalanan saya ini bisa membuat Anda tertarik untuk berwisata ke Pulau Buton. Mari kita ramai-ramai berwisata di dalam negeri kita yang indah ini. Selain menambah wawasan kita, kita juga membantu warga lokal di sana.
Terima kasih.

Sumber : http://lipsus.kompas.com/holidayfestive/readmyholiday/4d11724d8c414f2e650b0000

Robot Korea Mengajar Bahasa Inggris

KOMPAS.com — Di Korea Selatan, robot dipakai untuk mengajar bahasa Inggris bagi anak-anak sekolah dasar. Sebagai tahap awal, Korea Institute of Science and Technology memproduksi 29 robot untuk mengajar di 21 sekolah dasar di kota Daegu, Korea Selatan.

Robot setinggi kira-kira 1 meter itu memiliki televisi layar datar yang menampilkan avatar berupa seorang wanita kulit putih. Robot bisa membacakan buku, memimpin lagu, dan mengatur permainan.
Robot dikendalikan oleh guru bahasa Inggris yang berlokasi di Filipina. Sistem pengendali jarak jauhnya membuat guru itu bisa melihat dan mendengar murid-muridnya di Korea. Sistem itu juga bisa mengenali ekspresi guru dan menirukan ekspresi itu di avatar.

Tujuan penggunaan robot ini adalah untuk menekan biaya untuk menghadirkan tenaga pendidik di daerah pedesaan. Kim Mi-Young dari pemerintah kota Daegu mengatakan sulit mendapatkan guru yang mau mengajar di pedesaan. Lagi pula, katanya, "Robot tidak akan komplain tentang asuransi, cuti sakit, atau pindah kerja ke Jepang untuk gaji yang lebih baik."

Penggunaan robot juga bertujuan untuk merangsang industri robotika di Korea. Kim mengakui sistem ini masih tahap awal. "Strategi industrinya masih dikembangkan dan tetap membuat anak-anak tertarik belajar," kata Kim. (National Geographic Indonesia/Alex Pangestu)

diambil dari : http://sains.kompas.com/read/2011/01/03/17280758/Robot.Korea.Mengajar.Bahasa.Inggris